Maiyah Dalam Perspektif
Sufisme.
Ditulis oleh: Muhammad Nursamad Kamba
Kosa kata ‘maiyah’ dalam
bahasa Arab berarti: dalam keadaan bersama atau kebersamaan yang tak
terlepaskan, the endless togetherness (kalau boleh menggunakan kosakata seperti
ini). Dalam tradisi sufisme maiyah berarti maiyatullah, bersama Allah yakni
makna yang bersumber dari keadaan yang dialami rasulullah Muhammad SAW dan
sahabatnya, Abu Bakar ra tatkala berada di dalam gua tsaur ketika sedang
dikejar musuh dimana Muhammad SAW menyatakan kepada sahabatnya “Allah bersama
kita”; sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah at-Taubah : 40.
Literatur tasawuf cukup
kaya akan bahasan mengenai ayat 40 surat at-Taubah ini karena pertanyaan yang
menggelitik adalah bahwa sosok Abu Bakar bukanlah pengikut biasa melainkan
orang yang oleh Nabi sendiri diakui keimanannya yang prima sehingga tidak layak
berasumsi bahwa Abu Bakar dirundung ketakutan dan kekhawatiran apalagi
kesedihan menghadapi situasi yang ada. Lagi pula tidak ada informasi yang
akurat baik al-Quran maupun Hadist yang menggambarkan bahwa Abu Bakar saat itu mengeluh
kepada sahabatnya apalagi secara fisik menyatakan rasa sedih. Tetapi mengapa
kemudian Muhammad SAW berkata kepada sahabatnya: “Jangan bersedih, Allah
bersama kita”?
Boleh jadi ungkapan ini
tidak mesti dipahami dengan pola hubungan sebab akibat sehingga tidak dengan
cara empiris dimaknai jangan bersedih karena Allah bersama kita. Pemaknaan
sufisme terhadap kesedihan yang mungkin ada dalam diri Abu Bakar tidak terkait
dengan pribadinya tapi tertuju pada apa-apa yang akan menimpa mereka yang
memerangi dan mengejar Muhammad, seakan-akan Abu Bakar berkata: ‘saya bersedih
jika kemudian orang-orang itu mencederaimu wahai Rasulullah, maka tertimpa azab
yang tak berkesudahan’. Ini tentu disebabkan oleh pengetahuan Abu Bakar yang
sudah mencapai taraf ainulyaqien siapa sesungguhnya Muhammad.
Dari pihaknya Nabi pun
hanya mengingatkan “Allah bersama kita” dalam pembebasan mereka yang menjadikan
dirinya musuh Muhammad dari malapetaka apapun; seperti halnya sikap beliau
menghadapi penyiksaan penduduk Makkah ketika telah mencapai titik kulminasi
sampai-sampai malaikat Jibril as menawarkan apa perlu mengangkat Jabal Qubais
untuk ditimpakan kepada mereka dan tamat riwayatnya? Lalu dijawab oleh beliau
Nabi “Oh jangan, karena aku berharap mereka melahirkan anak-cucu keturunan yang
mampu memahami misi ini dan menjadi pejuang melanjutkannya”; Subhanallah,
shallallahu alaika ya sayyidi ya Rasulullah..
Pengertian maiyah
sebagaimana yang dipahami kaum sufi dari ayat 40 surat at-Taubah bukan untuk
membangun sifat defensive melainkan gagasan ‘pembebasan’ yang didasarkan kepada
cinta kasih sesame sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan
dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Bukanlah kebetulan
bahwa ‘maiyah’ muncul dalam konteks proses hijrah karena pada dasarnya momentum
hijrah menjadi tonggak transisional dalam metodologi dan pendekatan dakwah yang
digunakan Muhammad dalam misinya.
Selama kurang lebih satu
dasawarsa beliau mendebat penduduk Makkah tentang tauhid, namun hasilnya tidak
signifikan. Sejak dahulu bahkan hingga sekarang penduduk Makkah adalah
manusia-manusia materialistic sehingga sulit memahami dimensi-dimensi
ideologis, seperti sikap mereka yang tak habis pikir mempertanyakan misalnya
buat apa Muhammad mengajarkan persaudaraan sesama manusia diluar hubungan darah
dan suku bangsa?
Oleh karena itu, di
Madinah Muhammad tidak lagi melakukan perdebatan tauhid tetapi memberikan
contoh kongkrit bagaimana konstruksi dan struktur masyarakat yang diinginkan
Islam sesungguhnya; bagaimana manusia hidup saling mengasihi dan saling
mengerti, bersatu membangun dan mempertahankan kedaulatan Madinah, ibarat
pepatah Indonesia: “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Hasilnya, dalam
kurun waktu kurang dari satu dasawarsa tidak saja berbondong-bondongnya
penduduk Makkah bergabung ke Madinah tetapi Muhammad telah membangun basis
kekuatan politik, ekonomi dan militer yang tak tertandingi di semenanjung
Arabia.
Kelompok sufi – kalau
tidak disebut sebagai aliran – yang lebih dikenal amat ketat mempraktekkan
konsep maiyah seperti ini adalah aliran al-Malamatiyah di Khurasan pada abad
ke-3 dan ke-4 H. berdasar prinsip ietsaar yang mengacu pada ayat 9 surah
al-Hasyr, persaudaraan al-Malamatiyah dibangun diatas sikap pengorbanan diri
sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealism
alfutuwwah yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul
kahfi. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyah
dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, al-Junaeid
hingga Ibn Arabi.
Muhammad Ainun Nadjib dan
Maiyah
Tidak ada kaitan formal
yang dapat dijadikan alasan akademis maupun intelektual untuk secara
metodologis menyimpulkan adanya hubungan antara gerakan jamaah Maiyah yang
memperoleh inspirasi, pembimbingan, pengayoman dan pengajaran dari seorang
Muhammad Ainun Nadjib yang lebih akrab disapa Cak Nun, dengan gagasan-gagasan
pemikiran dan ideologi yang berkembang dalam sufisme.
Cak Nun secara formal
bukan anggota tarekat ataupun pernah berguru dan menerima ijazah dari seorang
Syekh Tarekat tertentu, bahkan tidak mempelajari tasawuf melalui jalur
pendidikan baik formal, informal maupun non-formal. Tetapi aneh dan ajaibnya,
pemikiran apapun yang terkandung dalam literatur tasawuf bisa dengan gampang
dan gamblang Cak Nun menguraikannya. Buka kitab al-Futuhat al-Makkiyah, suatu
karya monumental Ibn Arabi sebagai contoh dan lacak topik yang menguraikan
martabat wujud, maka anda dapat lebih mengerti gagasan itu dalam satu kali
pertemuan dengan Cak Nun disbanding beberapa kali pertemuan bahkan beberapa
semester tapi tetap tak mengerti di hadapan profesor pengajar materi tasawuf
pada perguruan tinggi Islam dan non-Islam di Indonesia.
Maiyah yang secara kreatif
atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan dan
ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ihklas dan jujur yang
bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi
sufistik Cak Nun yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam
sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah. Jamaah Maiyah
sebagaimana pengikut malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum dalam
menghadapi kezaliman ataupun kesewenang-wenangan pemerintah ataupun publik.
Bahkan jamaah Maiyah sebagaimana jamaah Malamatiyah cenderung mempraktekkan
‘rasa bahagia’ dan sikap ‘menikmati’ ketidak-adilan dan penderitaan yang
dialaminya.
Dengan demikian maka Cak
Nun dengan jamaah Maiyahnya sesungguhnya merupakan nikmat bagi pemerintah dan
Negara Indonesia. Forum-forum Maiyah Cak Nun telah menjadi danau serapan bagi
banjir kebencian masyarakat. Maiyah menjadi ‘GEGANA’ penjinak bom yang setiap
saat dapat meledak gara-gara ketidak-adilan dalam masyarakat. Maiyah menjadi
jembatan perdamaian bilamana terjadi konflik antara kelompok masyarakat. Lebih
dari itu, Maiyah menjdai ‘sekolah’ kehidupan yang memberikan pendidikan
kearifan hidup.
Meski peran sosial dan
kultural yang dimainkan jamaah Maiyah begitu besar artinya bagi stabilitas
politik dan keamanan nasional Indonesia, namun Cak Nun tidak mendapat
penghargaan, apresiasi maupun terima kasih dari pemerintah. Dan tentu Cak Nun
tidak pernah mengharapkan apapun dari siapapun kecuali kecintaan kepada Allah
dan Rasul-Nya, karena beliau mempraktekkan ayat 9 surah al-Insan. Namun
tentunya tetap tergantung kepada kehendak dan keinginan Allah terhadap bangsa
Indonesia ini. Jika Allah kemudian menutup ‘danau’ Maiyah, membubarkan ‘gegana’
Maiyah, merontokkan ‘jembatan’ Maiyah dan menutup ‘sekolah’ Maiyah, maka
revolusi takkan terhindarkan. Dan jika saatnya tiba Allah pun takkan
segan-segan memerintahkan Cak Nun mendeklarasikan ‘perang badr’ dan
menggerakkan balatentara yang tak terlihat dan yang sudah cukup lama stand by.
Wallahu a’lam.
Jakarta, 23 Desember 2009
Blogger Comment
Facebook Comment